Apakah Oknum Militer Dapat di Hukum Cambuk Jika Melanggar Qanun Jinayat?

Infobandaaceh
Monday, November 17, 2025 | November 17, 2025 WIB Last Updated 2025-11-16T18:16:49Z



Provinsi Aceh memiliki keistimewaan dalam pelaksanaan Syariat Islam, salah satunya melalui penerapan Hukum Jinayat dan hukuman cambuk. Namun, terdapat fenomena yang terus menjadi pertanyaan publik: mengapa oknum militer yang melanggar Jinayat tidak diproses melalui Mahkamah Syar’iyah, sebagaimana yang berlaku bagi masyarakat sipil?


Padahal Pasal 128 Ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyebutkan bahwa setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh wajib menaati hukum syariat. Namun dalam praktiknya, oknum TNI seringkali tidak diproses melalui Qanun Jinayat, termasuk dalam kasus zina, khalwat, hingga liwath (hubungan homoseksual) antar anggota militer.


Tulisan ini merangkum alasan yuridis dan struktural mengapa hal tersebut terjadi, serta kemungkinan solusi ke depan.





1. Kerancuan Penafsiran Pasal 203 Ayat (1) UUPA



Pasal 203 Ayat (1) UUPA berbunyi:


“Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”


Masalahnya, pasal ini tidak secara eksplisit menyatakan bahwa:


  • TNI wajib tunduk pada Qanun Jinayat, atau
  • TNI harus diadili di Mahkamah Syar’iyah.



Akibatnya, aparat militer bebas menafsirkan bahwa mereka hanya tunduk pada:


  • KUHP Militer, dan
  • Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.



Dalam hierarki hukum nasional:


  • KUHP Militer lebih tinggi dari Qanun,
  • dan KUHP Militer lebih dahulu ada daripada UUPA.



Hal ini secara otomatis memberi supremasi pada sistem peradilan militer dalam memproses tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI.





2. Kelemahan Qanun Hukum Acara Jinayat terkait Penyertaan (Deelneming)



Kelemahan berikutnya terdapat pada Pasal 95 Ayat (2) Qanun Hukum Acara Jinayat, yang menyatakan bahwa apabila pelaku adalah anggota militer dan tidak tunduk pada hukum Jinayat, maka:


Perkara diperiksa di pengadilan militer tanpa menggunakan sistem peradilan koneksitas.


Dampaknya:


  • Kasus yang melibatkan pelaku sipil + pelaku militer diadili secara terpisah.
  • Hal ini bertentangan dengan asas equality before the law (kesetaraan di hadapan hukum).
  • Keluarga korban dari kalangan sipil sering tidak mendapatkan rasa keadilan.



Akibatnya, sampai hari ini perkara koneksitas dalam Jinayat tidak dapat berjalan efektif.





3. Perbedaan Kapasitas Fasilitas dan Prosedur Penanganan



Secara faktual:


  • Pengadilan militer memiliki fasilitas, sumber daya, dan mekanisme pengawasan yang lebih lengkap.
  • Mahkamah Syar’iyah tidak memiliki standar penanganan teknis terhadap pelanggar yang berasal dari institusi militer—misalnya terkait pengamanan, proses pemanggilan, atau kewenangan internal.



Ditambah lagi, hukuman cambuk:


  • Tidak menimbulkan efek jera signifikan bagi personel militer yang secara fisik dilatih untuk menahan rasa sakit.
  • Hal ini sering menjadi argumentasi informal untuk tidak memproses oknum TNI melalui jalur Jinayat.






4. Keterbatasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah



Mahkamah Syar’iyah:


  • Tidak memiliki kewenangan menjatuhkan hukuman tambahan terkait kedinasan, seperti pencopotan jabatan atau pemecatan anggota TNI.
  • Wewenang tersebut eksklusif milik peradilan militer.



Karena Jinayat tidak mampu menyentuh aspek administratif kedinasan, aparat kerap memutuskan bahwa jalur militer lebih efektif dalam memberi sanksi.





5. Ketidaklengkapan Pengaturan Peradilan Koneksitas dalam Qanun Jinayat



Qanun Hukum Acara Jinayat No. 7 Tahun 2013, khususnya Pasal 94–95:


  • Belum mengatur secara komprehensif mekanisme koneksitas,
  • Tidak menjelaskan bagaimana menangani perkara yang melibatkan militer dan sipil secara bersamaan,
  • Tidak memberi prosedur teknis yang setara dengan pengaturan koneksitas dalam hukum nasional.



Karena itu, secara praktis perkara Jinayat yang melibatkan TNI sulit sekali diproses bersama sama pelaku sipil.





Bisakah Oknum Militer Diadili Menggunakan Hukum Jinayat?



Jawabannya: Masih bisa.

Namun secara normatif tidak akan efektif tanpa revisi hukum.


Beberapa celah yang memungkinkan:


  1. Pengakuan terhadap hukum adat, yang kini diakui dalam KUHP baru.
  2. Harmonisasi Qanun dengan UUPA, KUHP Nasional, dan KUHP Militer, sehingga ada dasar hukum kuat untuk memasukkan TNI ke yurisdiksi Jinayat.



Namun celah ini belum cukup untuk membuat proses Jinayat terhadap TNI berjalan konsisten tanpa revisi peraturan.





Rekomendasi Perbaikan Regulasi



Untuk memastikan keadilan tidak tebang pilih antara sipil dan militer, pemerintah perlu melakukan:



1. Revisi Pasal 203 Ayat (1) UUPA



  • Memastikan rumusan jelas:
    • Apakah prajurit TNI di Aceh wajib tunduk pada Qanun Jinayat?
    • Atau sama sekali tidak?



Kejelasan rumusan akan menghilangkan ambiguitas penafsiran.



2. Revisi Qanun Hukum Acara Jinayat



Kh especially:


  • Pasal 94–95 tentang koneksitas
  • Pengaturan penyertaan (deelneming)
  • Mekanisme penanganan pelaku campuran (sipil-militer)
  • Tata cara koordinasi dengan Oditurat Militer.




3. Penguatan Fasilitas Mahkamah Syar’iyah



Termasuk:


  • Prosedur keamanan bagi terdakwa militer,
  • Mekanisme eksekusi hukuman,
  • Proses integrasi dengan sistem peradilan militer dalam kasus tertentu.






Penutup



Permasalahan tidak diprosesnya oknum militer melalui jalur Jinayat bukan hanya soal keberanian aparat atau “perlakuan khusus”, tetapi merupakan akibat langsung dari kerancuan regulasi, kekurangan pengaturan koneksitas, serta perbedaan kewenangan antara peradilan militer dan Mahkamah Syar’iyah.


Agar Aceh tetap dikenal sebagai daerah bersyariat yang konsisten dan adil:


  • Pemerintah Aceh,
  • Legislatif,
  • Mahkamah Syar’iyah,
  • TNI,
  • Serta pembentuk undang-undang nasional,



perlu meninjau ulang secara komprehensif UUPA dan Qanun Jinayat. Bukan hanya memperbaiki satu atau dua pasal, tetapi memastikan keseluruhan sistem hukum berjalan serasi dan tanpa diskriminasi status.


Semoga tulisan ini dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum dalam memperkuat supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh.

 


Nama penulis: Said Alfath 

Mahasiswa Peduli Qanun


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Apakah Oknum Militer Dapat di Hukum Cambuk Jika Melanggar Qanun Jinayat?

Trending Now

Iklan

iklan